Malang, 17 April 2010
Putu menunjukan apresiasi yang tinggi kepada tokoh besar bangsa Indonesia, almarhum Gus Dur dengan penampilannya di atas panggung teater. |
Putu Wijaya adalah salah satu empu teater di Indonesia. Dia membuktikan totalitas penghayatan terhadap seni peran dengan aktingnya yang memukau dalam pentas teater pada Jumat petang (16/04) di Theater Dome UMM. Ratusan penonton hadir memadati acara persembahan HMJ Bahasa Indonesia yang mengusung tema “Teater Mental”. Tampak pula di barisan penonton, rektor Dr. Muhadjir Effendi, MAP. Sedang para dosen jurusan Bahasa Indonesia tampak sangat menikmati pertunjukan Putu Wijaya yang memikat mata.
Monolog berjudul Empu menjadi pilihan pertama dalam rangkaian tiga monolog yang dibawakannya. Dalam monolog itu, Putu ingin menunjukan apresiasi yang tinggi kepada tokoh besar bangsa Indonesia, almarhum Gus Dur. Putu pun ingin menunjukkan kepada penonton bahwa Gus Dur adalah orang yang semasa hidupnya mampu memberi kritik – kritik segar terhadap bangsa Indonesia. Meskipun kritiknya kadang membuat sebagian masyarakat bingung atau tidak mampu memahami maksudnya. Dan, saat ini, belum ada lagi tokoh yang nyeleneh seperti dia. Hal itu, digambarkan dengan setting panggung yang menampilkan boneka putih besar yang menyerupai sesosok manusia.
Monolog kedua berjudul poligami yang memotret kegirisan hidup wanita Indonesia. Nasib mereka dari generasi ke genereasi yang tidak berubah, dengan hadirnya isak tangis sebagai ekspresi kepiluan hidup mereka. “Inilah nasib…nasib wanita Indonesia, setiap harinya menderita. Jadi tukang cuci, mengurus dapur dan kerja rodi di kasur. Dari jaman dulu sampai nanti, nasibnya seperti TKW”, teriak Putu di antara penggalan- penggalan narasinya.
Monolog berjudul ‘Kemerdekaan’ adalah cerita yang dipilih untuk menutup acara tersebut. Putu juga menjelaskan bahwa cerita itu pernah dibawakan dalam pentasnya di UMM pada tahun 1999 silam. Menurutnya, Teater adalah bahasa untuk mengerti pikiran orang lain. Sehingga dalam monolog tersebut, kemerdekaan, dimakanai sebagai sebuah bentuk ekspresi tentang perjuangan merebut kebebasan. Bukan perjuangn sendiri – sendiri sebagai hadiah tapi kemerdekaan yang direbut dengan darah untuk kepentingan bersama, bangsa Indonesia.
Pada kesempatan tersebut, rektor memaparkan bahwa acara semacam itu sangat bagus. Kegiatan tersebut merupakan perwujudan kampus yang berbudaya dan beradab dengan membangun kepekaan etika atau karakter lewat seni. “Secara tulus saya ucapkan selamat. Saya menyempatkan datang di tengah – tengah kesibukan dan hadir bersama anda, saya menemukan sesuatu yang fresh. Semoga akan lahir Putu Wijaya yang lainnya di UMM ini”, harap rektor saat memberikan sambutan pada acara tersebut.
Apresiasi positif dari rektor dibalas dengan lontaran kekaguman Putu terhadap penataan ruangan Theater Dome yang sangat mendukung untuk pertunjukan. “Saya ingin bermonolog lagi di sini, karena semuanya sangat antusias dalam menerima saya. Kau selamanya akan ku tanam dalam hatiku” ungkapnya berpuisi sebagai ucapan terimakasih.
Dalam kesempatan itu, Putu juga menyampaikan pesan bahwa sesungguhnya teater adalah peristiwa batin bukan sekedar pertunjukan saja. Sebagai orang Bali, Putu mengaku sangat menjunjung pepatah Dase, Kale, Patre yang berarti tempat, waktu dan susana dalam membawakan setiap pentasnya. Mengindahkan sebagian peraturan yang ada untuk mendapatkan estetika cerita. “Saya ditabrak keadaan, yang membuat jalan cerita mengalir seperti itu. Jujur semua dialog yang saya bawakan barusan adalah hasil improvisasi dan tidak pernah saya rencanakan sebelumnya”, terang Putu saat menjawab pertanyaan salah seorang penikmat sastra dari Blitar. (rwp/jss)
published by HUMAS UMM